Anekdot Sufi: Kisah Penggembala Unta dan Pencari Guru Sufi

بِسْÙ…ِ اللهِ الرَّØ­ْمنِ الرَّØ­ِيمِ
https://www.muhammadhabibi.com/2019/01/kisah-penggembala-unta-dan-pencari-guru-sufi.html

Di dalam sebuah cerita sufi dikisahkan tentang adanya seorang yang berminat kepada ajaran tasawuf. Dari seorang temannya dia telah mendengar tentang adanya guru sufi yang agung. Oleh karena itu, dia pun pergi ke sana dengan menyewa seekor unta dari seorang penggembala.

Singkat ceritanya, setelah dia menempuh perjalanan yang berat dan cukup lama, akhirnya sampailah dia ke rumah sang guru sufi yang jadi tujuannya. Ternyata, orang yang akan hendak dijadikannya seorang gurunya itu justru bersikap sangat hormat terhadapnya sang penggembala unta, sampai-sampai si penyewa unta itu pun terheran-heran dengan perilakunya.

kemudian dia pun berkata: “Saya datang kemari untuk berguru kepada emgkau, akan tetapi sikap engkau kepada penggembala unta layaknya kepada seorang guru saja,” kata si penyewa unta pad sang sufi. Kemudian sang guru sudi, yakni si tuan rumah itu, menjelaskan bahwa si penggembala unta itu memang tidak lain adalah merupakan gurunya sendiri.

Cerita yang seperti itu banyak sekali di dalam tasawuf. Akan tetapi sebetulnya bukanlah monopoli tradisi sufisme, sebab hampir semua budaya akan mengarah ke situ. Dalam pepatah Melayu, misalnya, dikatakan, “Makin berisi, padi makin merunduk.” Idenya adalah tentang bagaimana bersikap rendah hati, seperti yang telah ditampakkan oleh si penggembala unta dalam cerita di atas, yang ternyata adalah merupakan gurunya guru sufi. 

Bahkan di kalangan ulama ada pandangan bahwa tidak akan ada yang tahu seorang wali kecuali wali itu sendiri. Maka apabila kita mengatakan bahwa seseorang itu seorang wali, maka efeknya seolah-olah kita merasa bahkan mengklaim diri kita sendiri sebagai seorang wali (orang suci). Dalam hal ini, ungkapan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib sangat bagus ketika menggambarkan kesucian, “Sebaik-baik kesucian adalah menyembunyikan kesucian itu.”

Dalam pemahaman keagamaan sehari-hari, kita juga telah mengenal ada yang disebut sebagai orang-orang yang suci, atau tempat-tempat yang suci, dan waktu-waktu yang suci. Secara implisit, konsep kesucian itu sendiri juga sering kali dikaitkan dengan sejumlah ritual dalam Islam, misalnya zakat, sedekah, wudhu, dan lain-lain sebagainnya.

Sumber ini dikutip dari Ensiklopedi Nurcholish Madjid (pada Jilid ke 3), Tahun 2012 (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi) 

Post a Comment

0 Comments