Suatu ketika seorang filsuf ahli etika yang terkenal melintasi kampung Syekh Nasruddin Hoja dan bertanya kepadanya di mana warung makan yang enak. Syekh Nasruddin menyarankan sebuah warung pada filsuf yang lapar itu. Karena membutuhkan teman berbincang, sang filsuf mengajak Syekh Nasruddin untuk makan bersamanya. Kemudian Syekh Nasruddin menemani filsuf itu menuju warung yang dimaksud. Setelah sampai, Syekh Nasruddin bertanya kepada pelayan warung.
“Apa menu istimewa hari ini?” tanyanya.
“Ikan segar,” jawab pelayan.
“Bawakan kami dua ikan segar!” kata sang filsuf.
Beberapa saat kemudian, pelayan membawa piring besar berisi dua ikan segar yang telah matang, tapi ukurannya tidak sama, yang satu lebih besar dari satunya. Tanpa ragu-ragu, Syekh Nasruddin mengambil ikan yang lebih besar dan meletakan dalam piringnya. Melihat perilaku itu, sang filsuf menatapnya dengan tatapan tak percaya, kemudian berkata bahwa apa yang dilakukan Syekh Nasruddin sangat egois dan melanggar prinsip-prinsip dasar etika, baik etika agama, ataupun kebiasaan umum yang berkembang di masyarakat.
Syekh Nasruddin mendengarkan penjelasan filsuf itu dengan seksama. Setelah sang filsuf selesai menjelaskannya, Syekh Nasruddin mengajukan pertanyaan pada filsuf itu.
“Lalu apa yang sebaiknya dilakukan?” tanyanya.
“Agar menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, seharusnya ikan kecil lah yang diambil,” kata sang filsuf.
“Kalau begitu baiklah jawab Syekh,” kemudian Syekh Nasruddin segera mengambil ikan yang kecil dan beliau pun meletakkan ikan tersebut di piring sang filsuf itu. “Kau adalah orang yang berbudi pekerti luhur,” katanya dengan senyum cemerlang.
Renungan diri | Muhasabah Jiwa
0 Comments
"Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan".